Selasa, 08 Januari 2013

BUAH PARTENOKARPIK(buah tanpa biji)

A. Pengertian Partenokarpi

Buah merupakan bagian yang penting dari tanaman karena organ ini merupakan tempat yang sesuai bagi perkembangan, perlindungan, dan penyebaran biji. Pada buah normal, pembentukan buah dimulai dengan adanya proses persarian (polinasi) kepala putik (stigma) oleh serbuk sari (polen) secara sendiri (self pollination) atau oleh bantuan angin, serangga penyerbuk (polinator), dan manusia (cross pollination). Selanjutnya polen ber-kecambah dan membentuk tabung pollen (pollen tube) untuk menca-pai bakal biji (ovule). Peristiwa bertemunya polen (sel jantan) dengan bakal biji (sel telur) di dalam bakal buah (ovary) disebut pembuahan (fertilisasi). Kemudian bakal buah akan membesar dan berkembang menjadi buah bersamaan dengan pembentukan biji. Akhirnya akan dihasilkan buah yang fertil (berbiji). Beberapa jenis tanaman mempunyai kemampuan untuk membentuk buah tanpa melalui proses polinasi dan fertilisasi. Buah yang terbentuk tanpa melalui polinasi dan fertilisasi ini disebut buah partenokarpi. Dan biasanya buah partenokarpi ini tanpa biji (seedless) karena tanpa melalui fertilisasi. Partenokarpi ini kurang menguntungkan bagi program produksi benih/biji, tetapi lebih bermanfaat bagi peningkatan kualitas dan produktivitas buah, khususnya pada jenis tanaman komersial (hortikultura).
Sebagai contoh, pada terung partenokarpi dapat meningkatkan kualitas buah, sedangkan pada Actinidia dapat meningkatkan produktivitas buah dan tidak membutuhkan bantuan serangga penyerbuk (pollinator). Partenokarpi dapat terjadi secara alami (genetik) ataupun buatan (induksi). Partenokarpi alami ada dua tipe, yaitu obligator apabila terjadinya tanpa faktor/pengaruh luar dan fakultatif apabila terjadinya karena ada faktor/pengaruh dari luar/ lingkungan yang tidak sesuai untuk polinasi dan fertilisasi, misalnya suhu terlalu tinggi atau rendah. Sedangkan partenokarpi buatan dapat diinduksi melalui aplikasi zat peng-atur tumbuh (fitohormon) pada kuncup bunga (Schawabe dan Mills, 1981) atau melalui polinasi dengan polen inkompatibel (Tsao, 1980) atau dapat diserbuki dengan polen yang telah diradiasi sinar X (Shozo dan Keita, 1997). Bahkan, kini dengan adanya kemajuan tek-nologi di bidang biologi molekuler partenokarpi dapat diinduksi secara endogen melalui teknik rekayasa genetika, yaitu dengan cara menyi-sipkan gen partenokarpi (pengkode IAA/giberelin) ke dalam genom tanaman target melalui proses transformasi genetik (Barg dan Salts, 1996; Rotino et al., 1996; Li, 1997). Tanaman transgenik yang telah mengandung gen partenokarpi akan mengekspresikan senyawa auksin pada plasenta dan ovule (Rotino et al., 1996) atau giberelin pada polen sebelum polinasi (Tomes et al., 1996a).

B. Proses Pembentukan Partenokarpi
Partenokarpi dapat terjadi secara alami maupun secara buatan.
1. Partenokarmi Alami
Partenokarpi dapat terjadi secara alami (genetik) pada beberapa jenis tanaman saja (terbatas), misalnya pada pisang (triploid), tomat, dan manggis. Partenokarpi dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu obligator dan fakultatif. Partenokar-pi disebut obligator apabila terjadi secara alami (genetik) tanpa ada-nya pengaruh dari luar. Hal ini da-pat terjadi karena tanaman tersebut secara genetik memiliki gen penye-bab partenokarpi, misalnya pada tanaman pisang yang kebanyakan triploid. Tanaman triploid ini memiliki mekanisme penghambatan perkembangan biji atau embrio sejak awal, sehingga buah yang terbentuk tanpa biji. Sedangkan partenokarpi fakultatif apabila terjadinya karena ada faktor/pengaruh dari luar, mi-salnya pada tanaman tomat dapat terjadi pembentukan buah parteno-karpi pada suhu dingin atau suhu panas.
2. Partenokarpi Buatan
Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh Pada awal abad ke-19 telah diketahui bahwa polinasi tanpa fertili-sasi dapat merangsang pembentuk-an buah (Fitting, 1909). Kemudian, ekstrak polen diketahui pula dapat menginduksi pembentukan dan perkembangan buah (Yasuda, 1934). Berikutnya diketahui lagi bahwa auksin dapat menggantikan polinasi dan fertilisasi pada proses pembentukan dan perkembangan buah pada beberapa spesies tanaman (Gustafson, 1942). Percobaan pada tanamanstrawbery, di mana bakal biji yang telah dibuahi (achenes) dapat dihilangkan tanpa merusak bagian reseptakel ternyata buah tetap tumbuh berkembang setelah achenes diganti dengan olesan senyawa lanolin yang berisi auksin (Nitsch, 1950). Lebih lanjut, Nitsch membuktikan bahwa kandungan dan sintesis auksin pada bakal biji (achenes) berlangsung hingga 17 hari setelah pembuahan. Hal ini membuktikan bahwa auksin dibutuhkan selama perkembangan buah. Zat pengatur tumbuh (ZPT) lain, seperti giberelin dan sitokinin juga terbukti dapat menggantikan peran biji dalam perkembangan buah (Schwabe dan Mills, 1981). Namun, untuk efisiensi partenokarpi perlu kombinasi atau pengulangan aplikasi ZPT tersebut. Zat pengatur tumbuh berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kandungan auksin (IAA) endogen dalam bakal buah (ovary), baik setelah polinasi dan fertilisasi ataupun setelah aplikasi ZPT dari luar. Kadar auksin selama perkembangan bakal buah berbedabeda untuk setiap tanaman, tetapi umumnya meningkat pada saat 20 hari setelah pembungaan (anthesis) baik pada bunga yang diserbuki atau yang disemprot auksin (Lee etal., 1997). Peningkatan kadar IAA pada bakal buah akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan buah pada fase awal pembungaan (Gillapsy et al., 1993). Mekanisme inilah yang mengilhami para ahli bioteknologi pertanian dalam pembentukan buah partenokarpi melalui rekayasa genetika. Manipulasi Ploidi (Alteration in Chromosomes Number) Partenokarpi dapat pula diinduksi secara genetik, yaitu melalui manipulasi jumlah ploidi (kromosom) pada tanaman. Hal ini dapat ditempuh dengan persilangan biasa, misalnya antara tanaman semangka dikotil (sebagai induk jantan/ penyerbuk) dengan tanaman tetraploid (sebagai induk betina) menghasilkan hibrid (F1) triploid yang ternyata dapat menghasilkan buah partenokarpi tanpa biji (seedless). Pada tanaman triploid ini bakal biji (ovule) terhambat sejak awal perkembangannya, sehingga embrio tidak berkembang. Akibatnya tanaman hanya menghasilkan buah tanpa biji dengan integumen yang rudimenter (tidak berkembang) (Kihara, 1951).
Pada beberapa tahun terakhir, beberapa metode telah dicoba dan dikembangkan untuk menghasilkan partenokarpi melalui rekayasa ge-netika tanaman. Pembentukan buah partenokarpi melalui teknik DNA rekombinan dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu (1) menghambat perkembangan embrio/biji tanpa mempengaruhi pertumbuhan buah dan (2) ekspresi fitohormon pada bagian ovary/ovule untuk memacu perkembangan buah partenokarpi. Cara pendekatan pertama ditempuh melalui penggunaan gen yang bersifat merusak sel (cytotoxic). Gen ini akan menghasilkan senyawa toksik terhadap sel-sel embrio/ biji, sehingga akan menghambat bahkan merusak perkembangan embrio/biji. Pertumbuhan buah tetap berlangsung, tetapi tidak menghasilkan biji. Sebagai contoh, penggunaan gen barnase yang diisolasi dari bakteri Bacillusamyloliquefaciens (Paddon dan Hartley, 1987; Tomes et al., 1996b) atau kombinasi gen sitotok-sik, misalnya gen iaaM dan iaaH dari bakteri yang mengekspresikan senyawa toksik kadar tinggi terhadap sel-sel embrio/biji. Kombinasi ekspresi dua gen ini akan merubah triptofan menjadi IAA melalui senyawa indoleacetamide (Kosuge etal., 1966). Kadar IAA tinggi ini akan bersifat toksik terhadap sel-sel biji atau embrio tanaman. Grossniklaus dan Vielle-Calzada, (1999) menggunakan gen regulator yang dapat mengekspresikan senyawa toksik yang mempengaruhi perkembangan embrio atau endosperm. Gen barnase akan menghasilkan enzim ribonuklease pada bagian biji di bawah kontrol promoter spesifik bagian kulit biji. Tetapi pembentukan partenokarpi melalui cara pendekatan ini kurang berhasil dan tidak berkembang, karena hingga kini belum ada data hasil percobaan yang mendukung keberhasilan teknik ini.
Cara pendekatan kedua dalam menghasilkan partenokarpi adalah melalui pengekspresian senyawa fi-tohormon IAA atau analognya pada bagian bakal buah (ovary) terlihat lebih efektif. Cara kedua ini didasari oleh pengetahuan sebelumnya bah-wa aplikasi fitohormon sejenis auksin/giberelin dapat menggantikan peran biji dalam merangsang pembentukan dan perkembangan buah. Tomes et al. (1996a) telah berhasil menginduksi buah partenokarpi melalui penggunaan gen pengkode giberelin, yaitu giberellin 20-oxidase yang diekspresikan pada bagian po-len (serbuk sari) sebelum polinasi (di bawah kontrol promoter spesifik bagian polen). Buah partenokarpi dapat terbentuk sebelum fertilisasi (anthesis). Li (1997) berhasil menggunakan gen pengkode auksin, giberelin atau sitokinin (iaaM, iaaH atau ipt) dari Agrobacterium tumefaciens di bawah kontrol sequen regulator spesifik bagian ovary. Gen iaaM mengkode senyawa triptofan 2-monooxigenase yang akan meru-bah triptofan menjadi indoleaceta-mide (IAM), lalu menjadi indole acetic acid (IAA) dan amonia (Kosuge et al., 1966) menggunakan promoter GH3 dari kedelai (Hagen et al., 1991) atau AGL5 (Agamous-like 5) dari Arabidopsis (Ma et al., 1991) atau PLE36 dari tembakau (Li, 1997). GH3 merupakan promo-ter inducible auksin di bagian ovary, AGL5 spesifik pada perkembangan karpela (Savidge et al., 1995) dan PLE 36 spesifik untuk ovary. Rotino et al. (1997) telah berhasil menggunakan promoter bagian regulator defh9 (deficiens homologue 9) dari Antirrhinum majus untuk mengekspresikan gen iaaM (pengkode IAA) dari Pseudomonas syringae pv savastanoi (Yamada et al., 1985) pada bagian plasenta dan bakal biji. Gen kimerik defh9-iaaM (Gambar 1) ini telah berhasil menginduksi buah partenokarpi pa-da beberapa tanaman dari famili Solanaceae seperti terung, temba-kau, dan tomat (Rotino et al., 1996; 1997; Ficcadenti et al., 1999). Tanaman hibrid (F1) terung yang mengandung gen defh9-iaaM menunjukkan peningkatan produksi pada musim dingin (Dozella et al., 2000). Demikian juga terjadi pada tomat transgenik yang ditanam pa-da kondisi atau cuaca yang kurang menguntungkan bagi perkembangan polen (Acciarri et al., 2000) .
Bahkan saat ini, di Italia sedang dilakukan pengujian lapang untuk tanaman transgenik melon, strawbery, dan anggur. Sehingga gen partenokarpi defh9-iaaM telah berhasil dicoba pada empat famili, yaitu Solanaceae, Cucurbitaceae, Rosaceae, dan Cruciferae. Dari semua tanaman transgenik partenokarpi tersebut ditemukan kadar ekspresi auksin yang sangat rendah pada mRNA yang diekstrak dari kuncup bunga (Rotino et al., 1997; Ficcadenti et al., 1999). Dari hasil percobaan ternyata terdapat faktor penting di dalam pembuatan buah partenokarpi melalui rekayasa genetika, yaitu terletak pada penggunaan bagian regulator (regulator region) dalam konstruksi gen kimera. Bagian regulator merupakan informasi genetik yang sangat penting dalam mengontrol ekspresi gen interest baik secara temporal atau spatial. Dua parameter ini sangat penting dalam mem-peroleh partenokarpi dan meyakin-kan ekspresi yang optimal dari gen partenokarpi tanpa menghambat pertumbuhan vegetatif (buah) pada tanaman transgeniknya. Dengan demikian, semua gen regulator yang digunakan diarahkan ekspresi-nya ke bagian ovary dan bagianbagiannya. Sebagai contoh gen kimera defh9-iaaM (Rotino et al., 1997), bagian regulator defh9 (promoter) dapat mengontrol ekspresi gen iaaM (pengkode IAA) hanya pada bagian plasenta, ovule, dan bagian ovule (Ficcadenti et al., 1999). Ekspresi IAA pada bagian ovule ditujukan untuk menggantikan peran biji dalam memacu pertumbuhan buah, sedangkan ekspresi IAA pada bagian plasenta untuk meyakinkan bahwa partenokarpi terjadi sebelum polinasi (anthesis). Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan dengan buah hasil penyerbukan biasa atau aplikasi ZPT. Buah par-tenokarpi tanpa biji dapat terbentuk pada bunga tomat dan terung yang diemaskulasi atau dikastrasi (dihilangkan bagian benang sarinya) ter-lebih dahulu. Sedangkan ekspresi IAA pada bagian jaringan ovule di-maksudkan untuk menjaga kelang-sungan pertumbuhan dan perkembangan buah hingga dewasa. Ekspresi IAA yang sangat rendah diperlukan untuk memperoleh perkembangan buah partenokarpi secara normal, karena apabila ekspresi terlalu tinggi dapat menyebab-kan pertumbuhan yang abnormal (malformation), terutama pada je-nis tanaman yang sensitif terhadap auksin.



C. Beberapa Contoh Pembentukan Buah Partenokarpi
1. Pembentukan buah partenokarpi pada Cabai (Capsicum annum, L)


Tanaman partenokarpi (buah tanpa biji) mempunyai nilai komersial yang tebih, sebab buah biasanya berukuran lebih besar dan dapat menyebabkan bentuk buah yang lebih bagus. Teknik ini dapat meningkatkan produktivitas suatu tanaman, termasuk cabai yang kebutuhannya semakin meningkat sedangkan hasilnya masih tergolong rendah. Salah satu cara memperoleh tanaman partenikarpi buatan adalah dengan cara pemberian hormon. Masalah yang diteliti adalah apakah hormon gibberellin dapat menginduksi tanaman cabai menjadi berbuah partenikarpi dan berapakah konsentrasi efektifnya? Asumsi yang melandasi penelitian ini adalah gibberellin dapat mempengaruhi sifat genetik termasuk pembentukan buah menjadi bersifat partenokarpi, sehingga dengan pemberian gibberellin konsentrasi tertentu dapat menginduksi buah cabai menjadi bersifat partenokarpi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gibberellin terhadap pembentukan buah partenokarpi pada cabai dan mengetahui konsentrasi efektif yang harus diberikan. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat meningkatkan nilai komoditas buah cabai serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Penelitian ini dilakukan di Rumah Kaca Laboratorium Biologi Reproduksi FMIPA-UNAIR dan Kelurahan Menur Pumpungan. Sampel penelitian adalah tanaman Cabai yang diberi perlakuan penyemprotan gibberellin dengan konsentrasi 0; 10; 20; 30; 40; 50; 100; dan 200 ppm. Penelitian ini menggunakan disain Rancangan Acak Lengkap. Data yang diperoleh adalah jumlah bunga cabai yang gugur, jumlah dan berat (gr) total buah Cabai yang dihasilkan serta jumlah Cabai yang bersifat partenokarpi dari total produksi buah Cabai pada setiap perlakuan. Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengetahui perbedaan rata antar kelompok perlakuan adalah uji F dengan taraf a = 0,05. Jika dalam uji F terdapat perbedaan yang bermakna, maka dilakukan uji lanjutan yaitu BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf a = 0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyemprotan Gibberellin (GA3) pada kisaran konsentrasi 0 - 200 ppm belum dapat mengakibatkan terbentuknya buah cabai yang bersifat partenokarpi. Namun penyemprotan gibberellin dapat menurunkan jumlah bunga gugur dan meningkatkan jumlah serta berat total cabai yang dihasilkan. Hasil terbaik didapatkan pada tanaman perlakuan yang disemprot giberellin dengan konsentrasi 100 ppm ( libunair@indo.net.id).
2. Pembentukan buah partenokarpi pada Kurma
Berita kurma berbuah di Indonesia sampai ke telinga para pakar buah. Luar biasa, kejadian itu sangat langka, kata Drs Hendro Soenarjono, mantan peneliti di Kebun Percobaan Cipaku, Bogor. Pendapat itu diamini Dr Reza Tirtawinata MS, direktur Taman Wisata Mekarsari, Cileungsi, Bogor. Bila yang berbuah Phoenix dactylifera itu sangat istimewa. Kurma yang rajin berbuah di Indonesia adalah kurma hias Phoenix roebelenii, tuturnya. Jenis itu tak pernah dikonsumsi, sementara yang ada di kediaman Adi Warsito daging buah tebal karena buah tak berbiji.
Menurut Reza, kurma berbuah di daerah tropis bersifat kasuistis. Artinya, contoh itu tak bisa dijadikan patokan bahwa kurma mampu berbuah di Indonesia. Apalagi untuk ditanam skala komersial. Iklim negeri kita tak mendukung pohon kurma berbuah,ujarnya. Kurma membutuhkan kekeringan ekstrim yang merangsang pembuahan. Reza menduga, letak pohon di antara jalan raya dan bangunan menyebabkan daerah perakaran terisolasi dari air. Maka secara mikro kondisi lingkungan kering, seperti habitat asli kurma. Oleh karena itu, Reza hanya menyarankan penanaman kurma sebatas tanaman hias. Kalau berniat untuk menikmati buahnya bisa kecewa, tutur doktor dari Institut Pertanian Bogor itu.
Itu berbeda dengan pendapat Greg Hambali, pakar botani di Bogor. Fenomena di kediaman Adi Warsito kian mengukuhkan Phoenix dactylifera dapat berbuah di Bumi Pertiwi. Saya pernah mencicipi kurma dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, ujarnya. Hanya saja perlu ditelusuri lebih jauh. Lazimnya kurma yang berbuah di tanahair berukuran kecil, paling sebesar ujung ibu jari orang dewasa dan tak berbiji. Sementara di Israel, Trubus menyaksikan kurma segar berukuran hampir sama dengan telur ayam kampung.
Menurut Greg, kurma tanpa biji itu bukan hasil perkawinan bunga jantan dan betina. Buah berasal dari pohon partenokarpi. Artinya, pohon mampu membentuk buah tanpa ada penyerbukan jantan pada betina. Beberapa pohon kurma memang bersifat seperti itu, tergantung genetik bunga betina, kata alumnus University of Birmingham itu.
Secara alami kurma tergolong tanaman berumah dua. Pohon hanya menghasilkan 1 jenis bunga: jantan atau betina. Penyerbukan alami terjadi bila terdapat pohon jantan dan betina di lokasi berdekatan. Menurut Greg, kurma sulit berbuah di Indonesia justru karena penanaman-sebagai tanaman hias-umumnya tunggal. Akibatnya, tak terjadi penyerbukan bunga jantan pada betina.
Lantaran itulah Greg yakin pada penanaman berkelompok peluang kurma berbuah jauh lebih besar. Namun, membutuhkan riset pendukung. Dulu di Kalifornia kurma juga tak berbuah, tapi lihat sekarang. Kalifornia jadi salah satu produsen kurma, ujar kolektor berbagai tanaman buah itu.
Penelusuran Trubus membenarkan pernyataan Greg. Kurma yang diimpor Indonesia umumnya dari Kalifornia. Negara bagian Amerika Serikat beriklim tropis itu membudidayakan kurma secara komersial sejak 1969. Padahal, sampai 1800-an, pohon-pohon kurma di Kalifornia tak pernah berbuah. Penelitian dari Universitas California pada 1905 merekomendasikan penyerbukan dengan lebah. Hasilnya, tanaman menjadi lebih produktif.
Thailand melakukan penelitian serupa. Para pakar di negeri Gajah Putih mencoba mengawinkan bunga betina kurma dengan bunga jantan dari keluarga palem lain. Sebut saja dengan kurma hias Phoenix roebelenii.

Bila penelitian di tanahair benar berjalan, banyak hobiis bersukacita. Koleksi kurma yang biasanya untuk tanaman hias dapat berbuah. Sebut saja Darwis Siagim, hobiis buah-buahan di Pondokbambu, Jakarta Timur, yang mengoleksi belasan pohon kurma. Mantan manajer di Pertamina itu berharap, suatu saat kelak, ia dan anak cucu dapat menikmati kurma dari halaman rumah(Destika Cahyana,2002).

3. Pembentukan buah partenokarpi pada Jambu Biji (Lambo guava)
Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu, dalam bahasa Inggris disebut Lambo guava. Tanaman ini berasal dari Brazilia Amerika Tengah, menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya seperti Indonesia. Hingga saat ini telah dibudidayakan dan menyebar luas di daerah-daerah Jawa. Jambu biji sering disebut juga jambu klutuk, jambu siki, atau jambu batu. Jambu tersebut kemudian dilakukan persilangan melalui stek atau okulasi dengan jenis yang lain, sehingga akhirnya mendapatkan hasil yang lebih besar dengan keadaan biji yang lebih sedikit bahkan tidak berbiji yang diberi nama jambu Bangkok karena proses terjadinya dari Bangkok.
Dari sejumlah jenis jambu biji, terdapat beberapa varietas jambu biji yang digemari orang dan dibudidayakan dengan memilih nilai ekonomisnya yang relatif lebih tinggi diantaranya: 1) Jambu sukun (jambu tanpa biji yang tumbuh secara partenokarpi dan bila tumbuh dekat dengan jambu biji akan cenderung berbiji kembali)( http://www.ristek.go.id).
4. Pembentukan buah partenokarpi pada Tanaman Sukun
Tanaman sukun merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 20 m. Kayunya lunak dan kulit kayu berserat kasar. Semua bagian tanaman bergetah encer. Daun dan batang Daunnya lebar sekali, bercanggap menjari, dan berbulu kasar. Batangnya besar, agak lunak, dan bergetah banyak. Cabangnya banyak, pertumbuhannya cenderung ke atas. Bunga Bunga sukun berkelamin tunggal (bunga betina dan bunga jantan terpisah), tetapi berumah satu. Bunganya keluar dari ketiak daun pada ujung cabang dan ranting. Bunga jantan berbentuk tongkat panjang yang disebut ontel. Bunga betina berbentuk bulat bertangkai pendek (babal) seperti pada nangka. Bunga betina merupakan bunga majemuk sinkarpik seperti pada nangka. Kulit buah menonjol rata sehingga tampak tidak jelas yang merupakan bekas putik dari bunga sinkarpik. Pada buah keluwih, tonjolan pada kulit buah merupakan duri yang lunak. Penyerbukan bunga dibantu oleh angin, sedangkan serangga yang sering berkunjung kurang berperan dalam penyerbukan bunga. Pada buah sukun, walaupun terjadi penyerbukan, pembuahannya mengalami kegagalan sehingga buah yang terbentuk tidak berbiji. Pada keluwih (Artocarpus communis) kedua proses dapat berlangsung normal sehingga buah yang terbentuk berbiji normal dan kulit buah berduri lunak sekali. Duri buah keluwih merupakan bekas tangkai putik bunga majemuk sinkarpik. Buah Buah sukun mirip dengan buah keluwih (timbul). Perbedaannya adalah duri buah sukun tumpul, bahkan hampir tidak tampak pada permukaan buahnya. Selain itu, buah sukun tidak berbiji (partenokarpi). Akar Tanaman sukun mempunyai akar tunggang yang dalam dan akar samping dangkal. Akar samping dapat tumbuh tunas yang sering digunakan untuk bibit.
5. Pembentukan buah partenokarpi pada Tanaman Buah Solok
Dr. I. Djatnika, kepala Balai Penelitian Tanaman Buah Solok, menjelaskan sepatu amora tidak mempunyai bunga jantan dan jantung seperti lazimnya pisang lain. Namun, buah tetap muncul karena ia termasuk partenokarpi, yaitu jenis tanaman yang mampu membentuk buah tanpa memerlukan penyerbukan bunga jantan terhadap bunga betina. Pisang tanpa bunga jantan dan jantung sangat istimewa. Ia akan terbebas dari penyakit utama pisang seperti layu bakteri dan penyakit darah yang ditularkan serangga pengunjung bunga. Layu bakteri disebabkan Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum. Ia menjadi kendala produksi di pusat-pusat pertanaman pisang di dunia, termasuk Indonesia. Bakteri lain, bacterial blood disease alias BBD disebut penyakit darah. Gejala kedua penyakit itu sama, yaitu terjadi kelayuan tanaman yang cepat. Jika menyerang tanaman berbuah, gejalanya laten. Buah pisang dari luar tampak mulus, tetapi saat dikupas isinya hitam dan tidak dapat dimakan. Jika buah yang terserang dikocok-kocok, terdengar seperti ada batu di dalamnya. Menurut beberapa pekebun di Sumatera Barat, pisang berpenyakit menyebabkan keracunan jika dimakan hewan seperti sapi atau kambing.
Pada pisang yang memiliki bunga jantan dan jantung, kedua penyakit itu dicegah dengan memberongsong atau memotong jantung pisang. Cara itu direkomendasikan beberapa pakar di dalam atau luar negeri. Akan tetapi, kedua teknik itu kurang diminati masyarakat.
Di Sumatera Barat, pisang yang diberongsong tidak disukai konsumen karena tidak ada bercak-bercak alias mulus. Pisang berkulit mulus dianggap bukan pisang lezat. Pemotongan jantung pisang pun menuai masalah. Pekebun kerap menggunakan pisau untuk memotong jantung pisang sakit pada pisang sehat. Maksud hati mematahkan serangan layu bakteri, apa daya malah menyebarkan penyakit dengan sengaja.
Pisang sepatu amora mempunyai sistem pertahanan alami karena tidak punya jantung. Pengamatan penulis di daerah endemis penyakit layu bakteri, sepatu amora umumnya bertahan hidup. Buah yang dihasilkan normal dan sehat. Sepatu amora yang tanpa bunga jantan dan jantung luput dari kunjungan serangga yang ikut menyebarkan penyakit.
Pada pertemuan perpisangan untuk wilayah Asia Pasifik di Filipina pada 2002, penulis menginformasikan prospek sepatu amora sebagai pilihan pengembangan jenis pisang komersial di wilayah endemik wabah layu bakteri. Informasi itu segera direspons peneliti pisang di dunia. Terbukti informasi itu kembali terungkap pada pertemuan Penyakit Layu Fusarium Pisang di Brasil pada 2003. Disebutkan sepatu amora layak ditanam untuk mengantisipasi serangan penyakit layu pisang di dunia.

D. Kesimpulan
Beberapa pendekatan dan percobaan telah dilakukan dalam rangka pembentukan buah partenokar-pi pada tanaman transgenik. Pem-bentukan buah partenokarpi melalui rekayasa genetika akan dapat menjawab tuntutan konsumen yang menginginkan adanya buah tanpa biji dengan kualitas lebih baik dan produktivitas yang tinggi, khususnya pada tanaman hortikultura yang bernilai tinggi (komersial). Sejalan dengan itu, pendekatan secara molekuler dengan teknik microarray juga dapat digunakan untuk studi pembandingan dan studi perubahan pola ekspresi gen selama perkembangan buah baik pada buah partenokarpi maupun buah normal (hasil pembuahan). Dengan demikian, sintesis fitohormon secara endogen pada bunga atau bakal buah akan dapat terkontrol baik waktu (timing), tempat (lokasi), dan kekuatan (strength) ekspresi serta pengaruhnya bagi per-tumbuhan dan perkembangan buah.

1 komentar: