Tren Penyakit Saat Perubahan Cuaca
TEMPO.CO , Jakarta - Kementerian Kesehatan dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berencana mengadakan kerjasama di bidang informasi. Dua lembaga pemerintah ini memandang perlu bersinergi untuk membuat standar informasi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat.
"Sosialisasi kepada masyarakat tentang perubahan iklim penting untuk mengantisipasi wabah penyakit," kata Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Mohamad Subuh di Jakarta, Jumat 21 September 2012.
Subuh mengatakan, perubahan iklim memberi ancaman yang nyata terhadap kesehatan manusia, misalnya infeksi saluran pernapasan dan diare. Dalam situasi perubahan iklim, kata Subuh, alergen penyakit-penyakit seperti diare dan infeksi saluran pernapasan menyebar. "Perubahan temperatur, misalnya, bisa berkontribusi terhadap perkembangan mikrobakteria," kata dia.
Kepala Bidang Bina Operasi Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Budi Suhardi mengatakan lembaganya bisa menyediakan data-data yang dibutuhkan Kementerian Kesehatan untuk meneliti tren timbulnya wabah penyakit. Data-data itu misalnya terkait suhu udara rata-rata, suhu udara maksimum dan minimum.
Data yang disediakan itu, kata Budi, bisa digunakan untuk melihat korelasi antara indikator perubahan iklim dan kesehatan. "Misalnya kami melakukan penelitian tentang variasi curah hujan dikaitkan dengan kasus demam berdarah. Itu korelasinya signifikan," ujarnya.
Peneliti BMKG Dede Tarmana mengatakan telah melakukan penelitian terhadap perubahan iklim dan tren meningkatnya kasus demam berdarah di DKI Jakarta dalam kurun waktu 2001 sampai 2010. "Hasilnya, kami menemukan kecenderungan ketika curah hujan tinggi pada Januari akan diikuti dengan tingginya kasus demam berdarah 3 bulan setelahnya, yaitu bulan April," kata Dede.
Selain curah hujan yang tinggi, Dede melanjutkan, suhu tertentu juga berkorelasi dengan tren kenaikan kasus demam berdarah. Hasil penelitiannya menunjukkan pada temperatur 27,5 sampai 28,6 derajat celsius, angka kasus demam berdarah mencapai puncaknya.
"Sosialisasi kepada masyarakat tentang perubahan iklim penting untuk mengantisipasi wabah penyakit," kata Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Mohamad Subuh di Jakarta, Jumat 21 September 2012.
Subuh mengatakan, perubahan iklim memberi ancaman yang nyata terhadap kesehatan manusia, misalnya infeksi saluran pernapasan dan diare. Dalam situasi perubahan iklim, kata Subuh, alergen penyakit-penyakit seperti diare dan infeksi saluran pernapasan menyebar. "Perubahan temperatur, misalnya, bisa berkontribusi terhadap perkembangan mikrobakteria," kata dia.
Kepala Bidang Bina Operasi Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Budi Suhardi mengatakan lembaganya bisa menyediakan data-data yang dibutuhkan Kementerian Kesehatan untuk meneliti tren timbulnya wabah penyakit. Data-data itu misalnya terkait suhu udara rata-rata, suhu udara maksimum dan minimum.
Data yang disediakan itu, kata Budi, bisa digunakan untuk melihat korelasi antara indikator perubahan iklim dan kesehatan. "Misalnya kami melakukan penelitian tentang variasi curah hujan dikaitkan dengan kasus demam berdarah. Itu korelasinya signifikan," ujarnya.
Peneliti BMKG Dede Tarmana mengatakan telah melakukan penelitian terhadap perubahan iklim dan tren meningkatnya kasus demam berdarah di DKI Jakarta dalam kurun waktu 2001 sampai 2010. "Hasilnya, kami menemukan kecenderungan ketika curah hujan tinggi pada Januari akan diikuti dengan tingginya kasus demam berdarah 3 bulan setelahnya, yaitu bulan April," kata Dede.
Selain curah hujan yang tinggi, Dede melanjutkan, suhu tertentu juga berkorelasi dengan tren kenaikan kasus demam berdarah. Hasil penelitiannya menunjukkan pada temperatur 27,5 sampai 28,6 derajat celsius, angka kasus demam berdarah mencapai puncaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar